Hi! Welcome to Chiaki's Blog.
Disclaimer
Welcome to my blog. Before anything else please follow these rules : No ripping, spamming, and any type of childish acts. Respect is a must. Best-viewed with screen resolutions 1024x768. Enjoy your stay and have fun!
Young Lady
Beautiful,Gorgeous,Sweet
Navigations
Click TableofContents tab first be4 reading ♥ Profile Blog Table of Contents Links Photos Credits
I am ME
I'm no longer Nagisa Tsukihara. Now, my name is Chiaki Kashiwabara.

Doing...
Feeling : excited
Eating : ramen
Doing : nothing
Watching : reality show
Listening to : otsuka ai

Tagboard

Daily Reads
Ryokubita | IndoHogwarts | Naoto Matsushima | Nabelle M. Elsveta | Zeus Pierre | Hiroshi Nagata

Rotten Things
Desember 2009 |

Watching You #1
Our Second Meeting #1
Our Second Meeting #2
Our Second Meeting #3
Our Second Meeting #4
Our Second Meeting #5
Our Second Meeting #6
Our Second Meeting #7
Our Second Meeting #8
Our First Meeting (via RC)

Music
Music Here!

Watching You #1
Written at Selasa, 22 Desember 2009 | back to top

Chiaki Kashiwabara

Perawakan gadis itu tinggi dan langsing. Kulit putih yang belia itu dihiasi semburat pink tipis di kedua pipinya. Kedua matanya bulat dengan iris hazel yang serasi dengan surai keemasannya yang panjang sampai ke batas pinggang. Siapapun yang melihat gadis itu akan berdecak kagum dan menggumamkan kata 'cantik'. Tak hanya itu, pembawaan dirinya yang anggun menambah nilai plus pada sosok bernama Chiaki Kashiwabara itu. Tak salah bila seorang anak laki-laki di masa lalunya menyebut dia sebagai bidadari.

Gadis belia itu kini terlihat sedang duduk di tribun penonton sebuah lapangan sepakbola yang ada di Ryokubita. Dress pink dan hotpant putih melengkapi penampilannya hari itu. Rambut panjangnya yang keemasan diikat dua dengan pita putih bertengger pada masing-masing ikatannya. Tungkai rampingnya yang terbungkus boots pink muda terlihat bergerak-gerak gelisah. Jemari-jemari langsingnya saling terkatup di atas pahanya. Gugup.

Kemarin, Chiaki berjanji pada Nagata untuk datang mendukung pertandingannya hari ini. Dan disanalah sekarang Chiaki berada, menepati janjinya. Gadis belia itu bahkan membawa sebuah keranjang berisi bento, sebotol air mineral dingin dan handuk bersih untuk Nagata. Bingung sebenarnya. Gadis belia itu belum pernah sekalipun pergi menonton pertandingan olahraga sehingga dia tak tahu apa saja yang harus dipersiapkan. Chiaki hanya meniru apa yang dilakukan tokoh-tokoh komik yang dia baca, mereka membawakan bekal dan handuk saat menonton anak laki-laki idamannya bertanding.

Anak laki-laki idaman? Nagata-kun?

Sontak kedua pipi Chiaki memerah. Apel ranum yang tersembunyi itu kini muncul jelas di kedua sisi wajahnya. Tiba-tiba saja gadis belia itu merasa kikuk dan berlebihan dengan membawakan Nagata bekal dan handuk segala. Bisa-bisa Nagata menganggap dirinya aneh atau malah dianggap sebagai perempuan yang agresif? Huwee—Mau malu atau menyesal pun percuma sekarang. Hanya bisa berharap Nagata bukan tipe laki-laki yang suka berpikir macam-macam.

Ngomong-ngomong, Nagata-kun mana?

Label:

Our Second Meeting #1
Written at Senin, 14 Desember 2009 | back to top

Haha.. RP lanjutan tentang Nagata dan Nagisa yang dilakukan via Tegami. Entah kenapa chemistry-nya terasa banget tiap kali Nagisa bertemu muka sama Nagata. Posting ini udah diatur sedemikian rupa jadi bagi kamu-kamu yang membacanya bisa baca seperti biasa dari atas ke bawah bukan dari bawah ke atas.

Happy Reading~
Get involved with Nagata and Nagisa's love story.




Hiroshi Nagata's Pov

"Oy, Nagata, jaketmu mana? Ingat, besok kita tanding lawan Ouran Akademii, jangan sampai kau lupa membawa jaket tim lagi--atau kau mau kutarik dari tim inti? Yang lain amat mengharapkan untuk dapat mengenakan jaket itu, asal kau tahu,"

Mati. Peringatan dari Inamoto-senpai begitu jelasnya hingga Naga hanya bisa terdiam dan mengangguk kaku. Euh, Naga sama sekali tidak punya alasan dan nyali untuk membantahnya. Mau bagaimana lagi? Mengatakan sejujurnya bahwa jaketnya yang berharga dan hanya satu-satunya itu telah "dipinjamkan" kepada seorang gadis tidak dikenal? Cih, berikan Naga hukum pancung saja sekalian. Lagipula, ini sudah kali kedua Naga tidak mengenakan jaket tim-nya itu saat latihan, dan malah mengenakan jaket Gamba Osaka, tim sepakbola kesayangannya. Pantas saja senpai-nya ini marah.

Pemuda tanggung itu berjalan dengan langkah gontai ke arah main house. Masih tidak habis pikir bagaimana bodohnya dirinya bisa memberikan jaket itu dengan mudahnya kepada seorang gadis yang tidak dikenalnya, hanya karena tak tega melihat si gadis gemetar kedinginan. Dan bagaimana bisa selama seminggu berturut-turut Naga tidak dapat menemukan sosok gadis itu di manapun? Jangan-jangan ia bukan murid Ryokubita, eh? Bagus. Bagus sekali.

Tapi terlepas akan betapa pentingnya jaket itu, sebenarnya Naga sama sekali tak menyesal telah memberikannya pada si gadis. Entahlah, raut wajah gadis itu, sifat defensif-nya, dan badannya yang gemetaran, entah kenapa membuat Naga ingin melindungi gadis itu. Ia tampaknya tak mempunyai orang lain sebagai pelindungnya, berbeda sekali dengan Ishibashi adik yang sudah memiliki kakak laki-lakinya sebagai tameng pelindungnya. Salahkah Naga bila ia ingin memainkan peranan itu juga bagi sang gadis?

Perutnya yang kosong, memaksa Naga untuk meneruskan perjalanannya ke arah kantin. Yeah, lagipula ini sudah waktunya makan malam. Menoleh ke sekitarnya, Naga mencari sosok gadis berambut panjang itu, mungkinkah kali ini ia beruntung?

Label:

Our Second Meeting #2
Written at | back to top

Chiaki Kashiwabara a.k.a Nagisa

Nagisa melangkahkan tungkai rampingnya keluar dari laundry center. Tak perlu kau tanya apa yang habis dilakukan gadis itu disana, bukan? Tentu saja gadis itu baru saja mencuci pakaian dan juga kimono seragamnya. Tapi, hari ini ada yang berbeda, gadis itu juga mencuci sebuah jaket biru tua yang jelas adalah jaket milik anggota inti klub olahraga Ryokubita--milik seorang anak laki-laki. Gadis itu tersenyum tipis, berjalan sembari memperhatikan jalinan aksara yang membentuk sebuah nama--NAGATA.

Seminggu yang lalu, di dekat lapangan sepakbola Ryokubita, gadis itu masih ingat dengan jelas setiap detail kejadian singkat sampai jaket biru tua itu ada di tangannya. Anak laki-laki bernama Nagata itu menyapanya dengan nada dingin, membuat Nagisa merasa takut pada anak laki-laki itu. Selama seminggu ini juga, Nagisa tanpa sadar menghindari sosok anak laki-laki tersebut. Dia tahu, dia harus mengembalikan jaket itu tapi dia juga masih takut untuk menyapa dan entah kenapa alih-alih menghampiri Nagata, gadis itu malah lari menjauh.

Hari ini Nagisa sudah memantapkan hati akan mengembalikan jaket itu pada Nagata. Anak laki-laki itu pasti akan kesusahan jika jaket tersebut terlalu lama ada di tangannya. Salah satu teman sekelasnya yang juga anggota klub sepakbola pernah berkata bahwa Nagata seringkali ditegur karena tidak mengenakan jaket tim. Memang, sih Nagisa hanya mencuri dengar, tapi tetap saja berita tersebut membuatnya lagi-lagi merasa bersalah pada anak laki-laki itu.

Setelah membereskan semua cuciannya di kamar, Nagisa memasukkan jaket biru tua itu ke dalam kantong kertas. Sekarang waktunya makan malam, Nagisa yakin, Nagata pasti ada di kantin. Permata kembarnya sibuk mencari-cari sosok Nagata dalam perjalanannya menuju kantin. Entah karena keberuntungan atau hanya kebetulan, Nagisa melihat anak laki-laki itu sedang berdiri di depan pintu kantin. Sepertinya juga sedang mencari-cari seseorang.

Jangan-jangan dia mencariku untuk meminta jaketnya? Apakah dia akan marah padaku?

Dengan langkah perlahan dan sedikit gemetar--ah, entah kenapa tubuhnya tak mau bekerja sama meski hatinya sudah cukup siap menyapa anak laki-laki itu--Nagisa berjalan mendekati Nagata.

"Hai," sapanya pelan. Gadis itu berusaha tersenyum namun sepertinya senyum canggung yang malah muncul di wajahnya.

Uuh...

Label:

Our Second Meeting #3
Written at | back to top

Hiroshi Nagata's Pov


Ternyata malam itu Naga beruntung. Benar-benar beruntung malah, bila dilihat dari gadis itu yang menyapanya duluan. Dan coba tebak? Gadis itu juga sepertinya membawa jaket Naga dalam kantong kertas yang dipegangnya, seolah mereka berdua sudah berjanji bertemu sebelumnya, padahal tidak sama sekali. Bukannya langsung balas menyapa atau menanyakan tentang jaketnya, Naga malah terpaku dalam diam. Terlena sejenak akan kecantikan paras sang gadis. Ahh, andai saja… Benaknya mulai memikirkan banyak kata “andai”, meski akhirnya pemuda tanggung berusia 15 tahun itu kembali pada nyata.

“Hai! Kau bawa jaketnya?” tanya Naga penuh kelegaan sambil tersenyum kaku, tidak lebih kaku dari senyuman gadis itu, tapi. Sesosok—ralat, dua sosok orang yang baru memasuki kantin mengalihkan perhatian Naga sejenak. Satu mendorong kursi roda, sementara yang lain duduk di atas kursi roda tersebut. Yeah, itu kakak-beradik Ishibashi. Argh, lupakan, Naga. Lupakan. Semua telah jadi masa lalu. Dan ini membuat Naga semakin—


KRIUUUUKKK!


—lapar. Euh. Lupakan kalau suara itu berasal dari perutnya. Cih, memalukan sekali. Tapi ia memang sudah benar-benar lapar. Latihan bola tadi sungguh menguras tenaga-nya. “Kau sudah makan, Nona? Mau makan malam bersamaku?” tanya Naga sopan, dan ya, Naga patut senang akan hal ini, akhirnya ia berhasil bicara tanpa nada dingin yang selalu membayangi setiap kata yang keluar dari bibirnya. “Ahh ya, boleh tahu siapa namamu?” tanyanya kemudian setelah mengajak gadis ini untuk mencari meja kosong terdekat. Yeah, gadis ini pasti sudah tahu nama-nya dari jaket tim yang Naga pinjamkan. Tidak adil bila Naga tidak tahu nama gadis ini, kau tahu?

Label:

Our Second Meeting #4
Written at | back to top

Chiaki Kashiwabara a.k.a Nagisa


Gadis itu canggung berhadapan langsung dengan lawan jenis setelah sekian lama dia menghindar sebisa mungkin untuk berinteraksi dengan mereka. Namun, pembawaannya yang anggun berkat didikan ala bangsawan sejak ia kecil membuatnya bisa dengan mudah menutupi gestur canggung tersebut. Kali ini, ia takkan membiarkan kegugupan dan ketakutan menguasainya seperti terakhir kali bertemu dengan anak laki-laki itu. Perlahan, gadis itu menarik nafas dan menghembuskannya untuk menenangkan diri.

Sapaan singkat dari Nagisa tidak langsung diresponi secara verbal oleh Nagata. Alih-alih membalas sapaannya, anak laki-laki itu malah terdiam beberapa saat. Ebony kembar milik gadis itu seolah ikut terpaku memperhatikan raut wajah anak laki-laki di hadapannya. Dia harus mengakui bahwa anak laki-laki bernama Nagata ini memiliki paras tampan yang mengingatkan Nagisa pada karakter-karakter pangeran dalam dongeng—pasti Nagata seringkali tanpa sadar mengundang perhatian dari kaum hawa. Hidung mancungnya seolah dipahat oleh seorang seniman profesional. Dan bibirnya—

"Hai! Kau bawa jaketnya?"

Sapaan tiba-tiba Nagata membuat Nagisa tersentak dari pesona yang ditawarkan si pemilik paras elok itu. Gadis itu bisa merasakan darah tiba-tiba mengalir deras ke wajahnya. Pipinya yang cukup chubby itu memang mudah sekali merona. Nagisa cepat-cepat menundukkan wajahnya sementara kedua tangannya mengulurkan kantong kertas berisi jaket milik Nagata ke depan wajahnya.

"Maaf telah menahannya terlalu lama," ujar Nagisa, "A... aku baru sempat mengembalikannya sekarang."

Gadis itu masih tertunduk, terlalu malu untuk memperlihatkan kedua pipinya yang mungkin sekarang terlihat seperti apel merah yang ranum. Bisa-bisa Nagata berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya, pikir Nagisa. Saat Nagata menawarkannya untuk makan bersama, rasanya Nagisa ingin menolaknya. Bukan karena ia tak suka, tapi pertama, ia masih takut. Bagaimanapun ia baru mengenal anak laki-laki itu dan kedua, dia tahu rona merah di pipinya belum juga hilang. Gadis itu memutuskan untuk melewati pertanyaan Nagata soal makan bersama dan langsung menjawab pertanyaan yang terlontar berikutnya.

"Namaku Chiaki. Kashiwabara Chiaki..."

Dan tiba-tiba saja, bagian tengah tubuhnya tanpa ijin menjawab pertanyaan Nagata dengan suara cukup keras. Nagisa yakin Nagata pasti mendengarnya.


KRUYUUKKK!


Hwaaaa—

Dengan ini, tak mungkin Nagisa menolak tawaran Nagata dengan alasan tidak lapar, bukan? "Aku belum makan," ujarnya lirih kemudian perlahan mengangkat wajahnya karena merasa tak sopan bila terus-terusan menunduk. Apa boleh buat, perutnya sudah terlanjur mempermalukan dirinya, jadi pipi sewarna apel ranum ini takkan jadi lebih memalukan. "Aku mau jika memang tak mengganggu waktu makan malam Nagata-kun..."

Label:

Our Second Meeting #5
Written at | back to top

Hiroshi Nagata's PoV

Kashiwabara Chiaki.

Hmm, nama yang bagus, dan pastinya akan selalu diingat oleh pemuda tanggung berusia 15 tahun itu. Naga tersenyum simpul melihat gestur malu-malu dari gadis di depannya ini. Pipinya merona merah, dan ia bahkan menyerahkan kantung kertas cokelat berisi jaket tim sepakbola milik Naga dengan setengah menunduk. Err, tingkah laku gadis ini mengingatkan Naga pada dirinya sendiri ketika setengah mati mengejar Ishibashi adik dulu. Mungkinkah gadis ini, juga?

Argh. Tetaplah bermimpi, Nagata...

Simpul senyum pemuda tanggung yang sebenarnya tampan namun seringkali tertutup oleh raut wajah cemberut itu, semakin mengembang ketika Kashiwabara menjawab ajakannya untuk makan bersama dengan bunyi perut keroncongan yang nyaris sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Senyum itu pun berkembang menjadi tawa yang tertahan, dan kemudian ia pun mengajak gadis itu menempati meja makan yang agak jauh dari keramaian, dan dekat jendela, di mana sang purnama mengintip di baliknya. Indah, meski masih tak seindah gadis di depannya ini.

"Hmm, kau mau pesan apa, Kashiwabara-san? Nanti biar kuambil-kan sekalian," ujar Naga sambil tersenyum. Yeah, mustahil bisa memanggil kembali sifat dasar seorang Naga yang galak dan dingin di sini. Suasana-nya benar-benar tidak mendukung, apalagi dengan alunan lagu dari radio sekolah yang memutar lagu-lagu romantis itu.

Label:

Our Second Meeting #6
Written at | back to top

Nagisa Tsukihara a.k.a Chiaki Kashiwabara


Gadis belia itu melangkah mengikuti Nagata yang berjalan di depannya—masuk ke dalam kantin yang ramai dipenuhi anak-anak yang kelaparan. Perlahan wajahnya tidak lagi terlalu merah seperti apel ranum, hanya semburat kemerahan tipis yang tersisa di kedua pipinya. Mereka melangkah menuju sebuah meja makan yang agak jauh dari keramaian di dekat jendela. Gadis belia yang kini disebut Chiaki itu menatap sesaat ke langit, dimana bulan purnama bergantung di sana bersama dengan kelap-kelip bintang di sekelilingnya.

Indah...

Pemandangan indah ditambah dengan alunan lagu-lagu romantis dari radio sekolah membuat perasaan Chiaki sedikit lebih rileks sekarang. Apalagi perlakuan Nagata tidak lagi dingin seperti sebelumnya, bahkan anak laki-laki itu memberikan senyuman saat menawarkan diri untuk mengambilkan pesanan Chiaki. Spontan gadis belia itu balas tersenyum pada Nagata. Senyum yang belakangan ini jarang terlihat di wajah seorang Chiaki bila berhadapan dengan para adam. Gadis belia itu duduk di kursi yang berhadapan dengan Nagata, bukan di sampingnya. Tentu saja masih ada kewaspadaan dalam diri gadis belia itu. Trauma tak bisa sembuh begitu cepat, bukan?

"Oh, terimakasih. Aku ingin pesan ramen...," gadis itu terdiam sejenak seolah malu melanjutkan, "ehm... porsi besar. Dan segelas ocha panas." Mudah-mudahan saja anak laki-laki di hadapannya itu tidak menganggapnya rakus atau apa. Chiaki suka sekali ramen dan dia sudah lama sekali tidak makan ramen khas Jepang karena di Swiss tak ada yang menjualnya. Sebenarnya dia juga ingin pesan takoyaki dan juga es serut, tapi dia malu. Lain kali saja kalau sedang makan sendirian baru dia akan memesan semua menu itu. Iya, nafsu makan Chiaki memang tergolong besar dan tak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang ramping.

Label: